Dasar-dasar Pemerintahan Menurut Islam Dan Ajaran Islam
Halo
Sistem pemerintahan yang baik harus dibangun dengan memperhatikan dasar dasar dan nilai sebagaimana di bawah ini:1. Tauhid (Meng-Esakan Allah)
Firman Allah Swt dalam QS al-Baqarah/2: 163:
وَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَٰنُ الرَّحِيمُ
"Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang." (QS al-Baqarah/2:163)
Tauhid merupakan sikap tunduk dan patuh secara total hanya kepada Allah Swt. Tak ada sesuatupun yang layak dipatuhi selain Allah Swt. Konsekuensi dari sikap bertauhid ini akan membuat tiap-tiap orang, termasuk para pemimpin, merasa merdeka dan menghargai kemerdekaan orang lain, terhindar dari kesewenang-wenangan, dan pada akhirnya dapat menciptakan tata kelola pemerintahan yang egaliter serta terhindar dari otoritarianisme.
2. Keadilan
Hendaknya keadilan ditegakkan terhadap seluruh rakyat dalam segala urusannya. Firman Allah Swt dalam QS al-Nahl/16: 90:
إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُ بِٱلْعَدْلِ وَٱلْإِحْسَٰنِ وَإِيتَآئِ ذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ وَٱلْبَغْىِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
inna laaha ya'muru bil'adli wal-ihsaani wa-iitaa-i dzii lqurbaa wayanhaa 'ani lfahsyaa-i walmunkari walbaghyi ya'izhukum la'allakum tadzakkaruun
"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran." (QS al-Nahl/16: 90).
3. Persatuan dan Kesatuan
Yaitu prinsip untuk menggalang persaudaraan dan kesatuan dalam Islam. Firman Allah Swt dalam QS Ali Imran/3: 103
وَٱعْتَصِمُوا۟ بِحَبْلِ ٱللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا۟wa'tashimuu bihabli laahi jamii'an walaa tafarraquu
"Dan berpeganglah kamu sekalian kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai." (QS Ali Imran/3: 103).
4. Kedaulatan Rakyat
Masalah kedaulatan rakyat ini dapat dipahami dari perintah Allah Swt yang mewajibkan kita taat kepada ulil amri (para wakil rakyat atau pemegang pemerintahan). Firman Allah Swt dalam QS al-Nisa/4: 59
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
yaa ayyuhaa ladziina aamanuu athii'uu laaha wa-athii'uu rrasuula waulii l-amri minkum fa-in tanaaza'tum fii syay-in farudduuhu ilaa laahi warrasuuli in kuntum tu'minuuna bilaahi walyawmi l-aakhiri dzaalika khayrun wa-ahsanu ta'wiilaa
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS al-Nisa/4: 59)
Sulaiman Rasjid dengan mngutip pendapat ahli tafsir Imam Muhammad Fakhruddin Razi mengatakan bahwa yang dimaksud Ulil Amri pada ayat tersebut adalah para ulama, ilmuwan, dan para pemimpin yang ditaati rakyat. Mereka inilah representasi dari kedaulatan rakyat. Sedangkan untuk mengelola kedaulatan rakyat adalah melalui usaha menampung berbagai aspirasi mereka untuk kemudian dimusyawarahkan agar dapat dicapai kata mufakat demi kemaslahatan bersama. Perintah untuk melakukan musyawarah ini misalnya dapat dilihat pada QS alSyura/42: 38 sebagai berikut:
وَٱلَّذِينَ ٱسْتَجَابُوا۟ لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ
walladziina istajaabuu lirabbihim wa-aqaamuu shshalaata wa-amruhum syuuraa baynahum wamimmaa razaqnaahum yunfiquun
"Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka." (QS al-Syura/42: 38).
5. Kejujuran, Keikhlasan, dan Tanggung Jawab
Pemerintahan harus dijalankan dengan tulus demi tanggung jawab mengemban amanat rakyat dengan tidak membeda-bedakan bangsa dan warna kulit. Hal ini dapat dilakukan karena seorang pemimpin berpedoman pada firman Allah Swt yang di antaranya terdapat dalam surah al-Hujurat/49: 13 sebagai berikut:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
yaa ayyuhaa nnaasu innaa khalaqnaakum min dzakarin wauntsaa waja'alnaakum syu'uuban waqabaa-ila lita'aarafuu inna akramakum 'inda laahi atqaakum inna laaha 'aliimun khabiir
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS alHujurat/49:13).
Dalam konteks negara Indonesia, kelima nilai tersebut telah terejawantahkan dalam sila-sila Pancasila. Seperti halnya Sila Pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut KH. Ahmad Siddiq, “Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan pandangan Islam akan keesaan Allah, yang dikenal pula dengan sebutan Tauhid.” “Bahkan,” lanjutnya, “adanya pencantuman anak kalimat ‘atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa’ dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, menunjukkan kuatnya wawasan keagamaan dalam kehidupan bernegara kita sebagai bangsa.”
Dengan demikian, maka patut dipahami bahwa para pendiri negeri ini telah membangun negara Indonesia ini berlandaskan nilai-nilai yang diajarkan dalam agama Islam, yaitu: tauhid; keadilan; persatuan dan kesatuan; kedaulatan rakyat; serta kejujuran, keikhlasan, dan tanggung jawab.