Kisah Imam Sibawaih Berdebat dengan Imam Kisai, hingga Berujung Pada Kematian
Sahabat semuanya, pada kesempatan kali ini kita akan mengulas tentang kisah Imam Sibawaih yang berdebat dengan Imam Kisai, dua ulama besar dalam bidang Nahwu atau ilmu tata bahasa Arab.
Kisah ini merupakan kisah yang tak asing bagi para pecinta ilmu nahwu, dan termasuk kisah yang banyak digandrungi oleh kalangan pesantren.
Perdebatan kedua ulama besar tersebut merupakan perdebatan yang masyhur, dikenal dengan perdebatan zanburiyyah karena memang kedua ulama itu memperdebatkan kalimat yang berisi kata zanbur atau lebah.
Kisah ini pun dikenang oleh banyak orang hingga masa sekarang, menandakan ilmu nahwu berada dalam puncak kejayaannya.
Imam Sibawaih sendiri merupakan guru besar Imam ahli Nahwu mazhab Basrah. Beliau bergelar imam karena memang ilmu beliau dalam bidang nahwu atau tata bahasa Arab tak tertandingi.
Nama asli Imam Sibawaih adalah Amru bin Utsman Al-Harits Abu Basyar, beliau adalah orang persia.
Kata Sibawaih yang merupakan julukan pada beliau memiliki arti ‘aroma apel’. Ada beberapa riwayat yang menyebutkan mengapa beliau disebut dengan Sibawaih.
Salah satu cerita mengatakan bahwa ketika beliau lahir, aroma apel tercium semerbak di kamar tempat beliau lahir. Hal ini pun kemudian membuat beliau disebut dengan Sibawaih.
Ada juga kisah yang mengatakan bahwa tubuh Imam Sibawaih selalu mengeluarkan aroma apel, sehingga beliau pun dijuluki nama Sibawaih.
Imam Sibawaih tak lantas tiba-tiba menjadi seorang yang ahli dalam ilmu Nahwu. Ada kisah tersendiri yang menyebutkan tentang alasan beliau belajar Ilmu bahasa Arab hingga menjadi seorang Imam.
Satu riwayat menyebutkan, Sibawaih muda suatu saat mendengar hadis dari gurunya, kemudian ia menyanggah hadis tersebut karena menurutnya bacaan gurunya itu keliru.
Tetapi gurunya menjelaskan bahwa ternyata kata yang dianggap keliru itu adalah benar, dan dugaan Sibawaih itu adalah keliru karena Sibawaih belum menguasai ilmunya, dan dia salah membacanya.
Hingga akhirnya Sibawaih pun mengatakan, “Tentu aku akan mencari ilmu, dimana aku tidak akan salah membaca.”
Dalam riwayat lain disebutkan, ketika dirinya salah dalam membaca teks bahasa Arab karena tidak memahami ilmu tata bahasa Arab, saat pengajian selesai, Sibawaih langsung memecahkan penanya.
Ia pun berkata: “Aku tidak akan menulis suatu ilmu pengetahuan sampai akau dapat mematangkan dahulu dalam bidang bahasa arab”.
Dari kejadian itulah Sibawaih muda bertekad untuk mendalami ilmu bahasa Arab secara mendalam. Ia berguru kepada ulama besar, Imam Khalil yang akhirnya dengan kecerdasannya, ia bisa menjadi ulama terkenal bahkan kepopulerannya pun mampu menyaingi popularitas gurunya, Imam Khalil.
Perdebatan Imam Sibawaih dan Imam Kisai ini bermula dari dua kubu mazhab besar dalam bidang bahasa Arab pada waktu itu, yaitu kubu Mazhab Kufah dan Mazhab Basrah.
Mazhab basrah memiliki imam Sibawaih sedangkan mazhab Kufah memiliki pimpinan Imam Kisai.
Kedua mazhab tersebut sering berbeda pendapat, dan pada suatau waktu keduanya sepakat untuk mengadakan perdebatan.
Dalam kisah lain disebutkan bahwa Imam Sibawaih mengunjungi seorang tokoh pemerintahan yang bernama Yahya bin Khalid.
Yahya bin Khalid sendiri memang memiliki niatan untuk mempertemukan dua tokoh pembesar ilmu nahwu, yaitu Imam Sibawaih dan Imam al-Kisa'i, kemudian Yahya bin Khalid pun langsung mewujudkan niatanya tersebut dengan membuat acara debat terbuka yang dihadiri oleh orang-orang arab dan para ulama, baik dari daerahnya Sibawaih ataupun Kisa'i.
Semua boleh hadir, termasuk perdebatan itu juga dihadiri oleh imam Faro' dan imam Kholaf, dua imam yang juga terkenal sebagai ulama dalam bidang nahwu.
Pada sesi pertama perdebatan, Imam Sibawaih berdebat dengan imam Farra dan Imam Khalaf.
Kedua alim ini melontarkan beberapa pertanyaan kepada imam Sibawaih terkait masalah-masalah rumit seputar nahwu dan bahasa Arab.
Mendengar dari pertanyaan-pertanyaan yang diberikan kepadanya, dengan sigap imam Sibawaih langsung memberikan jawabannya dengan argumen yang lancar seperti diluar kepala.
Namun jawaban Imam Sibawah terus menerus dianggap salah, hingga akhirnya ia berkata :"aku tidak akan menjawab pertanyaan hingga Kisa'i hadir".
Setelah beberapa waktu, itu imam Kisa'i-pun datang dan langsung melangsungkan perdebatan, "Engkau yang bertanya kepadaku atau aku yang bertanya tanya!".
Silahkan engkau saja yang bertanya kepadaku!" Jawab sibawaih. Keduanya pun kemudian saling memberikan pertanyaan dan jawaban masing-masing dengan perdebatan yang sengit.
Hingga akhirnya al-Kisa'i sampai pada permasalahan tentang sengatan kalajengking dan kumbang atau yang dikenal dengan (Permasalahan Az-Zanburiyah).
Pertanyaan itu berbunyi, apa pendapatmu tentang ungkapan
أَظُنُّ أَنَّ الْعَقْرَبَ أَشَدَّ لِسَعَةً مِنْ الزَّنْبُوْرِ فَإِذَا هُوَ هِيَ أَوْ فَإِذَا هُوَ إِيَّاهَا....؟
Imam Sibawaih menjawab (فَإِذَا هُوَ هِيَ) Yakni setelah إِذَا semua rofa', sedangkan Al-kisa'i menjawab bahwa yang benar adalah (فَإِذَاهُوَ إِيَّاهَا) Yakni setelah إِذَا yang awal rofa' yang kedua nashab.
Silang pendapat ini berlangsung seru dihadapan Abu Ja'far al-Amir dan Yahya bin Kholid, dan keduanya tidak mencapai kata mufakat.
Karena debat berlarut-larut, maka kemudian Wazir Abbasiyah, Yahya ibn Khalid al-Barmaki, pun berkata di tengah perdebatan untuk menengahi. “Kalian adalah penghulu dari mazhab masing-masing,” katanya, “kalau begitu terus, siapa yang menjadi penengah dan pemutus perkara?”
“Di dekat sini ada kabilah ‘Arab,” kata Al-Kisa’i, “datangkanlah mereka kemari.” Maka didatangkanlah kabilah Arab itu. Kabilah Al-Huthamah namanya.
Kabilah tersebut dianggap sebagai kabilah Arab asli sehingga mereka pun bisa menjadi saksi untuk menengahi perdebatan kedua ulama besar tersebut.
Ringkas cerita, kabilah Al-Huthamah membenarkan pendapat Al-Kisa’i. Mazhab Kufah menang.
“Semoga kebaikan berada di tangan Tuan Wazir,” kata Al-Kisa’i, “agar tak pulang dengan tangan hampa, berilah Sibawaih hadiah.” Maka Sibawaih pun diberi 10 ribu dirham.
Sibawaih pulang dengan hati yang masih geram. Ia merasa dicurangi karena beberapa hal.
Di antaranya adalah, Pertama, bagi Mazhab Basrah, kabilah al-Huthamah itu tak layak jadi rujukan dalil bahasa Arab yang masih murni.
Hal ini karena unsur badui atau Arab aslinya telah luntur, sebab mereka tinggal di dekat kota Baghdad, kota metropolis yang memiliki budaya dan bahasa yang bercampur-campur antara Arab dan non Arab.
Kultur Arab dari kabilah al-Hutamah sudah tidak murni arab lagi.
Mazhab Basrah memang terkenal sangat selektif memilih kabilah Arab yang jadi sumber bahasa.
Kedua, menurut desas-desus, sebagaimana diceritakan Ibn Hisyam dalam Mughni al-Labib, kabilah Al-Huthamah berada dalam tekanan penguasa.
Mereka disuap untuk membela mazhab Kufah, agar mereka memenangkan Imam al-Kisai.
Apakah semua itu benar? Wallahu a'lam bisshawab.
Imam Sibawaih kembali dengan perasaan terluka. Ia merasa dipermalukan. Ia tak merasa salah dan kalah dalam perdebatan itu.
Maka ia pun memutuskan untuk pulang ke desanya, di kampung Syiraz. Sejak perdebatan itu, Sibawaih tak pernah lagi muncul di Basrah dan Baghdad.
Di kampung Syiraz, Sibawaih pun jatuh sakit. Tak lama kemudian ia meninggal. Sibawaih wafat muda, pada umur yang masih 36 tahun.
Kitab monumental warisannya adalah catatan pelajarannya dari mahaguru nahwu, Khalil ibn Ahmad. Kitab itu 4 jilid, tapi belum selesai, belum ada muqaddimah-nya, dan tak punya judul. Maka kitab itu cuma diberi judul “Al-Kitab”.
Kata Al-Jahizh, pakar bahasa dari sekte Mu’tazilah, “Al-Kitab”-nya Sibawaih adalah “Qur’an”-nya Nahwu. Tidak ada kitab-kitab nahwu setelahnya kecuali pasti merujuk dan menggunakan istilah-istilah yang termaktub di “Al-Kitab”.
Itulah kisah tentang perdebatan Imam Sibawah dan Kisai, semoga bermanfaat.