Studi S3 Doktor di Luar Negeri Sulit Tidak Sih? Sulit Atau Gampang?
Beberapa waktu lalu ada kenalan yang tanya. Studi s3 di luar negeri itu susah ndk sih?
Ada beberapa orang yang mungkin punya pertanyaan yang sama. Kalau aku dapat pertanyaan ini, aku jawab. "Tergantung" Dan ini merupakan jawaban perspektifku, pengalamanku. Mungkin bisa bermanfaat kalau ditulis.
Kalau ada yang tanya aku tinggal copy link ini. Dan aku mulai dari studi doktornya aja dulu, di luar negerinya nanti kalau sempat.
Banyak faktor yang bisa digunakan untuk bisa menimbang kesulitan studi doktor, seberapa susah atau malah mudah. Tak hanya di luar negeri, tapi di manapun.
Pertama, studi doktor itu bukan memulai pengalaman studi, tapi mendekorasi studi. Ibarat rumah, sebelum masuk studi doktor itu rumahnya sudah berbentuk bangunan, tanahnya sudah ada, pondasi dan temboknya sudah ada, sudah berdiri kokoh.
Saat masuk studi doktor, rumah itu akan diperbesar, diperkokoh, diperindah, fungsinya diperluas, kualitasnya ditingkatkan.
Dengan kata lain, studi doktor itu bukan memulai studi dari nol, tapi mahasiswa melanjutkan studi yang sudah ia garap matang di jenjang s1, s2.
Jurusan linear yang kamu ambil di jenjang s1 dan s2 ditambah dengan minat kamu yang besar dalam studi itu, sama dengan kamu bakalan mendapatkan kemudahan saat mengambil studi s3.
Artinya, seharusnya tidak ada calon mahasiswa s3 yang tanya, "aku s3 mau ngambil apa, kok bingung".
Nah, kalau ada calon mahasiswa s3 masih bingung mau ambil apa, saya sarankan perbanyak istikhoroh dulu. Karena studi s3 bisa jadi malah mempersulit kamu. Setidaknya kalau kamu ambil studi s3 ditempatku.
Kesimpulan poin pertama, semakin matang dirimu dengan studi jenjang s1, s2 dan Semakin suka dirimu pada studi itu, maka kamu akan mendapati studi s3 mu semakin lebih mudah, semakin bercahaya.
Kedua, Kata mudah atau sulit itu relatif. Ukurannya beda-beda. Bagi satu mahasiswa, telaah sumber sampai belasan hingga puluhan buku sampai berhari-hari untuk memecahkan satu poin masalah adalah kesenangan, sehingga terasa mudah, tak terasa sulit.
Namun bagi mahasiswa lain, bisa jadi itu adalah kebosanan, kesulitan dan akhirnya bisa menghambat studi.
Artinya, kalau kamu sejak awal sudah terbiasa dengan pekerjaan penelitian yang njlimet dan butuh kesabaran dan kamu suka itu, maka bisa dibilang studi s3 mu bakalan lebih lancar.
Sebaliknya kalau kamu kurang menguasai dan agak kurang suka dengan model-model standar penelitian ilmiah yang baku dalam studi s3, bisa jadi kamu bakalan kesulitan untuk melanjutkan jenjang s3.
Ketiga, Kerjaan mahasiswa doktor itu bisa jadi sangat berbeda dengan mahasiswa s1. Meskipun jurusan yang dipelajari sama, tapi bisa jadi kamu bakal sering terkejut-kejut karena menemukan fakta-fakta yang berbeda dengan pengetahuan baku yang pernah kamu pelajari di s1.
Hal ini bisa saja terjadi kalau penelitian yang kamu tempuh itu ditambah dosen pembimbing yang kompeten dibidang itu. Keduanya bisa menjadi satu formula yang ajib yang bisa bikin kamu semalaman mantengin sumber-sumber dalam penelitian.
Pembimbingmu bisa jadi menyuruhmu melacak sebuah definisi, kapan definisi itu muncul dan digunakan, bagaimana definisi itu bergeser makna dan cakupannya.
Termasuk paling umum adalah, kamu bisa jadi disuruh merangkai sebuah definisi dari pembahasan yang sudah ada, di mana pengarang atau orang yang membahas itu tak pernah bicara soal definisi. Setelah itu dibandingkan dengan kesimpulan definisi yang diambil dari pembahasan pakar lainnya.
Contoh saja, dalam bidang tafsir yang aku tempuh ada istilah musykilul Quran. Di kitab-kitab pengantar atau sumber-sumber baku-dasar yang dipelajari di jenjang s1 mengartikannya sebagai "ayat yang sepintas terlihat bertentangan".
Padahal sejak awal kemunculannya, para ulama yang membahas dalam lingkup cabang ilmu itu tak pernah mendefinisikan bahwa musykilul quran hanya sebatas pada ayat-ayat yang bertentangan. Karya-karya awal malah mencampur lingkup musykil dengan lingkup mutasyabih, khafi, mubham, gharib, tanakud-taarud yang seharusnya masing-masing dari istilah itu harus ada pembatasan yang tegas.
Dan kalau studimu tak ada pembatasan yang tegas, misal contoh di atas, kamu harus membatasinya. Dan pembatasan yang kamu buat harus bisa kamu pertanggungjawabkan. Setidaknya saat bimbingan kamu punya argumentasi agar bisa lolos dapat tandatangan dari pembimbing.
Artinya, kamu bakal dilatih untuk benar-benar mandiri dan menguasai masalah yang kamu bahas, dan kamu punya pondasi yang bagus untuk terus mempertahankan tatanan penelitian yang kamu kerjakan.
Kamu bakalan merasa benar-benar bertanggungjawab atas definisi dan logika yang kamu kutip dan kamu rangkai dalam penelitianmu. Pada tahap ini kamu bisa jadi merasa tak percaya dengan pakar atua ulama manapun sampai kamu benar-benar menguji logika dan definisi mereka.
Kalau kamu beruntung, kamu bakalan menemukan fakta dari penelusuran sumber-sumbermu, bahwa seorang ulama yang kamu kira sangat pakar karena banyak karya, ternyata penilaianmu tentang kepakarannya bisa berubah karena karyanya berasal dari kutipan sana-sini.
Tanpa ada rasa merendahkan sama sekali pada ulama seperti ini, mereka punya jasa besar mentranferkan pemikiran orang lain, karena kenyataannya banyak sekali ungkapan para ulama zaman dahulu yang tak sampai kepada kita kecuali melalui kutipan-kutipan semacam ini.
Kembali ke permasalahan poin nomor tiga ini, kalau dari awal kamu gagal memetakan penelitianmu secara akurat, maka kamu bisa jadi terseot-seot dalam menyelesaikan penelitianmu.
mungkin di lain waktu akan ada tambahan