Siapakah Imam Ghazali? Biografi Imam Ghazali dan Pemikirannya
Siapakah Imam Ghazali? Biografi Imam Ghazali dan Pemikirannya, Imam Ghazali adalah salah satu ulama terkenal yang ahli dalam bidang ilmu agama dan ilmu umum. Beliau dikenal sebagai ahli dalam lintas ilmu seperti Al-Quran, hadis, Fikih, filsafat, tasawuf dan lain sebagianya.
Lalu siapakah imam Ghazali itu sebenarnya? Berikut ini adalah biografi dari Imam Ghazali beserta pemikirannya.
Siapakah Imam Ghazali?
Al-Ghazali atau yang lebih dikenal sebagai Imam Muhammad Ghazali, adalah seorang ulama Persia yang ahli dalam berbagai bidang ilmu baik ilmu agama maupun ilmu umu. Imam Ghazali merupakan salah satu filsuf, teolog, ahli hukum, ahli logika, dan sufi Islam yang paling terkemuka dan berpengaruh.
Beliau dikenal melalui beragam karyanya, termasuk di antara yang paling terkenal adalah kitab Ihya Ulumuddin, kitab monumental yang membicarakan tentang fikih tasawuf.
Sosok Imam Ghazali, Kelahiran dan Petualangan Mencari Ilmu
Imam Ghazali lahir pada tahun 1053 di daerah Tus. Ghazali kecil menyelesaikan pendidikan pertamanya di Tus dengan saudaranya Ahmad, yang mana saudaranya itu kemudian menjadi seorang guru agama dan sufi terkenal.
Pada tahun 1069, Imam Ghazali pergi ke Madrasah Nizhamiyah di Nisaphur dan berguru kepada para ahli Ulama madzhab Syafi’i dan teolog Ashʻarî yang masyhur.
Di antara nama guru beliau adalah Imam al-Haramin Abu al-Maâlî al-Juwaini . Saat dia belajar fiqh dari Imam Juwaini, Imam Ghazali juga mendapat pengetahuan dari ilmu gurunya yang luar biasa dalam bidang kalam.
Pendidikan yang sukses diraih oleh Imam Ghazali di Madrasah Nizâmiye membuat Imam Ghazali dikenal oleh penguasa saat itu yaitu Nizâmülmülk.
Setelah itu, Imam Ghazali mengajar di Isfahan , ibu kota Seljuk, dan pada 1091 ia pun diangkat oleh Nizâmülmülk sebagai guru di Madrasah Nizâmiyah di ibu kota Baghdad.
Mendapatkan Gelar Hujjatul Islam
Karena memiliki ilmu dan pemahaman yang mendalam tentang agama dan beragam ilmu pengetahuan, al-Ghazali pun mendapatkan gelar Hujjatul Islam.
Berkat tugas yang ia peroleh di Baghdad, di mana ia dikenal sebagai “Hujjatu’l-Islam”, Imam Ghazali menjalin hubungan dekat dengan khalifah Abbasiyah dan para bangsawan kerajaan juga para menteri administratif di sana.
Namun kedekatan dengan para penguasa juga kehidupan Imam Ghazali yang serba cukup menjadikan ada sesuatu kekosongan dalam jiwanya.
Muncullah krisis spiritual dan intelektual yang dia alami saat dia menjadi Ulama paling berpengaruh pada masanya, sehingga akhirnya Imam Ghazali memutuskan untuk meninggalkan tugasnya di Baghdad pada tahun 1095 secara tiba-tiba.
Baca Juga: Siapakah Syaikh az-Zarnuji? Biografi Syaikh Zarnuji Pengarang Ta’lim Muta’allim
Imam Ghazali pun berangkat dari Baghdad menuju ke daerah barat, ke Damaskus dan pergi ke Yerusalem. Imam Ghazali konon bertekad saat di makam Ibrahim bahwa dia tidak akan pernah lagi melayani kehidupan politik dan mengajar di sekolah-sekolah yang didirikan oleh negara.
Setelah melakukan perjalanan panjang pada tahun 1096, Imam Ghazali kembali ke kampung halamannya di Tus, melalui Damaskus dan Baghdad, dan membangun sebuah madrasah kecil dan penginapan untuk kegiatan ilmu di sana.
Imam Ghazali mendapat banyak permintaan dari pemerintahan Seljuk yang mendesak dia untuk mengambil tugas resmi lagi, dengan alasan merosotnya akidah masyarakat yang kian lama kian meluas. Masyarakat butuh sosok ulama yang mumpuni seperti Imam Ghazali.
Pada tahun 1106 Imam Ghazali pun menerima tawaran untuk menjadi guru di Madrasah Nizâmiya, di mana al-Gazali kemudian terus mengajar dan meninggal di Tus pada tahun 1111.
Imam Ghazali Mencari Kebenaran
Dalam karya al -Munkiz mina’d-dalâl, yang ia tulis di akhir hayatnya, Ghazali menyatakan bahwa ia memiliki karakter yang berusaha memahami dan memikirkan tentang kebenaran segala sesuatu sejak masa remajanya.
Ghazali banyak mempertanyakan nilai keyakinan yang dipelajarinya dari orang tua, guru, dan lingkungannya melalui meniru dan mengikuti, dan ia pun mulai merenung tentang apa itu ilmu yang benar dan pasti.
Imam Ghazali, banyak mempelajari tentang indra yang digunakan untuk mencari kepastian dan kebenaran, namun ia kemudian menyimpulkan bahwa indra tidak dapat dipercaya karena indera bisa memberikan informasi yang keliru.
Baca Juga: Siapakah Ibnu Taimiyyah Itu? Biografi Ibnu Taimiyyah
Imam Ghazali kemudian memperluas keragu-raguannya dengan merenung tentang peran akal pikiran dan mempertanyakan apakah penilaian akal dapat dipercaya untuk bisa menilai ketidakmampuan indera.
Imam Ghazali mengambil kesimpulan bahwa akal pun gagal dalam mencapai kesimpulan yang memuaskan mengenai keandalan prinsip-prinsip utama dan wajib dari pikiran.
Misalnya, ketidakmungkinan ada dan lenyap pada saat yang sama, bagi akal itu tidaklah mungkin.
Menjunjung Pemikiran Ahli Sunnah
Ghazali mengkritik empat kelompok yang mana masing-masing dari kelompok tersebut mengaku mampu mencapai kebenaran. Keempat kelompok itu adalah para teolog, filsuf, Batini dan kaum sufi.
Saat melakukan kritik terhadap kelompok-kelompok ini, Ghazali membuat sebuah prinsip untuk mempelajari semua aspek hujjah mereka dan membangun kritiknya di atas dasar yang kokoh setelah proses pemikiran yang matang.
Ghazali, yang memiliki kedudukan penting dalam kelompok kalam Asyʻarî dengan karyanya yang berjudul El-Iktisâd fi’l-iâtikâd , ia pun meletakkan kalam sebagai cara utama untuk mempertahankan keyakinan Ahl as-Sunnah terhadap penafsiran yang baru yang bertentangan (bidʻat) yang muncul para masa mendatang.
Namun, menurut al-Ghazali, para teolog tidak memiliki metode untuk menyelesaikan perbedaan keyakinan yang terjadi di antara mereka.
Al-Ghazali melanjutkan usahanya untuk menjaga kalam sebagai disiplin ilmu yang penting dan menekankan bahwa masyarakat harus dijauhkan dari diskusi tentang masalah teologis.
Kritik Terhadap Para Filosof
Saat Ghazali diangkat sebagai guru di Madrasah Baghdad Nizamiye, ia menghabiskan sebagian waktunya mempelajari ajaran filsuf sambil mengajar ilmu agama kepada murid-muridnya.
Menurut keterangannya sendiri, Ghazali membaca buku filsafat kurang dari dua tahun tanpa bantuan guru, menghabiskan waktu satu tahun untuk menilai hasil yang diperolehnya dari membaca.
Alasan utama mengapa al-Ghazali sangat tertarik pada filsafat adalah karena pengaruh filsafat di dunia Islam dengan cepat tergeser setelah munculnya sistem filsafat Ibnu Sina yang banyak dikaji saat itu.
Sebagai hasil penelitiannya terhadap karya-karya para filsuf, khususnya Ibnu Sînâ, Ghazali menulis sebuah karya berjudul Makâsıdü’l-falâsifah, yang secara obyektif merangkum ajaran mereka di bidang logika, metafisika dan fisika.
Kritiknya terhadap para filsuf juga dibuat karya sendiri yang memuat sekitar dua puluh permasalahan dalam Tahâftü’l-falâsifa.
Baca Juga: Siapakah Ibnu Kasir? Biografi Ibnu Kasir
Ghazali, menunjukkan pendekatan yang umumnya bersifat positif terhadap matematika, logika, fisika, etika, dan politik dalam lingkup ilmu filosofis.
Ia pun memusatkan kritiknya pada metafisika, yang oleh para filsuf dipandang sebagai bidang di mana para filsuf membuat kesalahan paling banyak.
Menurut al-Ghazali, para filsuf gagal dalam memenuhi syarat-syarat pembuktian kebenaran yang mereka susun dalam ilmu logika dalam hal metafisika, karena tiga hal yang mereka klaim sebagaimana berikut:
1. Alam itu kekal.
2. Tuhan tahu yang universal, bukan yang khusus.
3. Kehidupan akhirat adalah spiritual, bukan material.
Imam Ghazali menunjukkan bahwa kesimpulan ilmiah yang dikemukakan oleh para filsuf dalam bidang-bidang seperti matematika, logika dan fisika tidak berarti bahwa semua pernyataan mereka, terutama penilaian mereka terhadap masalah metafisika, berada pada tingkat ilmu pasti.
Mengkritik Pemahaman Kelompok Batiniyah
Sikap Ghazali yang cukup keras terhadap pemikiran Batiniyah sebagai kelompok ketiga dalam klaim “kebenaran” memiliki kaitan erat dengan kondisi politik masa itu.
Imam Ghazali, berjuang melawan serangan politik dan ideologis dari Negara Fatimiyah dengan dukungan yang ia dapat dari Kekhalifahan Abbasiyah dan Negara Seljuk Agung.
Imam Ghazali menulis banyak karya untuk menyangkal doktrin dari para imam kelompok Batiniyah.
Salah satu yang terpenting dari karya-karyanya mengenai sangkalan terhadap kelompok ini adalah Fedâihu’l-Bâtıniyye , juga dikenal sebagai al-Mustazhirî , yang ditulis atas permintaan khalifah Abbasiyah Mustazhir-Billâh.
Imam al-Ghazali, banyak mengkritik model pemikiran yang mana kebenaran sesuatu didasarkan pada sumber imam yang ma’sum.
Imam Ghazali menyampaikan bahwa agama Allah sepenuhnya diberikan kepada orang-orang beriman. Juga Imam Ghazali menyatakan bahwa para ulama pun meskipun bukan Imam juga dapat menyelesaikan masalah umat Islam di bawah bimbingan Alquran dan Sunnah.
Hal ini karena kebenaran itu bukan pada letak keimaman yang mana para kelompok Batini meyakini bahwa kebenaran itu berasal dari imam yang ma’sum.
Selama masa jabatannya di Baghdad, Ghazali menulis karya-karya di bidang fiqh dan teologi serta menulis penolakan terhadap para filsuf dan kelompok Batini.
Di sisi lain ia mulai memikirkan kehidupannya sendiri dan memasuki proses kekosongan jiwa yang mana kemudian al-Ghazali pun memutuskan untuk mencari kebenaran yang pasti berangkat dari kritiknya terhadap kelompok-kelompok di atas.
Ghazali yang bertemu dengan karya-karya sufi pada periode ini sangat terpengaruh oleh pemikiran sufi yang dihadirkan dalam buku-buku tersebut.
Pencarian Spiritual Imam Ghazali
Ghazali menyadari bahwa tasawuf bukanlah ilmu yang hanya bisa dipelajari dari buku. Untuk dapat menggapai hidup secara benar, seseorang perlu untuk melepaskan ikatan duniawi seperti kedudukan, harta benda dan keluarga, dan beralih ke pada masalah ukhrawi dengan segenap hatinya, dengan menghindari hawa nafsu atau keinginan jiwa.
Namun, Ghazali yang mengalami kesulitan dalam mewujudkan hal itu, sehingga ia pun memutuskan untuk meninggalkan Baghdad dengan meninggalkan semua tugasnya dan mempercayakan keluarganya kepada teman-teman yang ia percayai.
Hal ini terjadi setelah Imam Ghazali berada pada masa keragu-raguan dan ketidaknyamanan secaara spiritual yang berlangsung hampir enam bulan.
Selama dua tahun jauhnya dari Baghdad, Ghazali memusatkan perhatian pada pengendalian hasrat duniawinya dan membersihkan hatinya dari kebiasaan dan pikiran buruk untuk menemukan dan mengamati kebenaran ilahi, dan sebagai hasil dari pengalaman spiritualnya, dia menyimpulkan bahwa metode tasawuf adalah metode yang paling kuat dan benar untuk bisa mencapai kebenaran.
Menurut Ghazali, Kesamaan antara pengalaman Nabi atas wahyu dan keadaan spiritual para sufi mampu mengungkapkan ketidakmampuan pikiran untuk memahami dan menjelaskan semua kebenaran yang diperlukan untuk memahami bimbingan nabi dalam mencapai kebenaran.
Tujuan utama dikarangnya Ihyâü ulûmi’d-dîn , salah satu karya paling berpengaruh dalam sejarah pemikiran Islam, yang ditulis Ghazali setelah meninggalkan Baghdad, adalah agar jiwa-jiwa mampu menghirup ilmu-ilmu agama secara tepat melalui tasawuf dan karya itu pun juga menunjukkan keterbatasan akal dalam peran itu.
Karya-Karya Imam Ghazali
Banyak sekali Kitab-kitab yang telah ditulis oleh Imam Ghazali dan menurut penelitian kitab karyanya melebihi 200 buah. Namun, yang bisa sampai pada kita hingga ke hari ini hanyalah lebih kurang 50 buah saja.
Kebanyakan kitab-kitab Imam Ghazali ini telah ditulis di dalam bahasa Arab, dan ada juga yang telah ditulis di dalam bahasa Persia. Di antara kitab-kitab al-Imām Abū Ĥāmid al-Ghazālī yang lebih terkenal adalah:
ar-Risālah al-Ladunniyyah;
al-Munqidh Min ađ-Đalāl;
Bidāyah al-Hidāyah;
Minhāj al-‘Ābidīn;
Mīzān al-‘Amal;
Kīmiyā’ as-Sa’ādah;
Misykāh al-Anwār; dan
Iĥyā’ ‘Ulūmiddīn.