Bolehkah shalat di mobil?
Bolehkah shalat di mobil? Shalat merupakan ibadah yang memiliki tata cara tertentu terkait tempat maupun waktu. Dengan adanya kesibukan, terkadang seseorang tidak bisa melakukan shalat sesuai dengan keadaan semestinya. Lalu apakah seseorang boleh shalat di mobil? Bolehkah shalat di mobil?
Bolehkah shalat di mobil?
Bolehkah shalat di mobil? Jawabannya adalah tergantung sesuai dengan shalatnya. Jika shalatnya adalah sholat sunnah, maka boleh saja shalat di mobil.
Namun jika shalatnya adalah shalat wajib, maka hendaknya turun dari mobil dan mencari tempat yang sesuai agar bisa melaksanakan shalat yang sempurna.
Shalat Sunah Di Mobil
Dari penjelasan para ulama berdasarkan petunjuk hadits disebutkan bahwa pada dasarnya shalat yang dapat dilakukan di atas kendaraan adalah shalat sunah saja.
Abu Bakar Al-Hishni di dalam kitabnya Kifâyatul Akhyâr menuturkan:
يجوز للْمُسَافِر التنقل رَاكِبًا وماشياً إِلَى جِهَة مقْصده فِي السّفر الطَّوِيل والقصير على الْمَذْهَب
Artinya: “Diperbolehkan bagi seorang yang sedang melakukan perjalanan baik berkendara atau berjalan kaki untuk melakukan shalat sunah dengan menghadap ke arah tempat tujuannya, di dalam perjalanan yang panjang (yang diperbolehkan mengqashar shalat) dan di dalam perjalanan yang pendek (yang tidak diperbolehkan mengqashar shalat) menurut pendapat yang dipegangi madzhab (Syafi’i).”
Pendapat ini didasarkan pada sebuah hadits:
عَنْ جَابِرٍ كَانَ رَسُول اللَّهِ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَل فَاسْتَقْبَل الْقِبْلَةَ
Artinya: “Dari Jabir bin Abdillah radliyallâhu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW shalat di atas kendaraannya menghadap kemana pun kendaraannya itu menghadap. Namun bila beliau hendak shalat fardhu, maka beliau turun dan shalat menghadap kiblat.” (HR. Bukhari)
Shalat Wajib di Mobil
Shalat wajib tidak bisa dilakukan di atas kendaraan kecuali bila dilakukan secara sempurna sebagaimana mestinya shalat itu dilakukan.
Ini bisa dipahami dari kalimat bahwa Rasulullah turun dari untanya ketika hendak melakukan shalat fardlu pada hadis di atas.
Turunnya Rasulullah dari kendaraan yang ditungganginya itu dimaksudkan agar beliau dapat melakukan shalat fardlu sebagaimana mestinya, yakni dengan menghadap kiblat, berdiri, ruku’ dan sujud secara benar.
Rasulullah pernah memerintahkan kepada Ja’far bin Abi Thalib untuk melakukan shalat di atas kapal laut ketika menuju ke negeri Habasyah dengan berdiri.
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُ أَنْ يُصَلِّيَ فِي السَّفِينَةِ قَائِمًا مَا لَمْ يَخْشَ الْغَرَقَ
Artinya: “Bahwa Nabi ﷺ memerintahkan Ja’far bin Abi Thalib untuk shalat di atas kapal laut dengan berdiri selama tidak takut tenggelam.” (HR. Al-Bazzar) Maka ketika seseorang dalam perjalanan dan hendak melakukan shalat fardlu sementara tidak mungkin dilakukan secara sempurna di atas kendaraan maka ia mesti turun dari kendaraannya. Ia mesti melakukan shalat fardlunya di atas tanah. Namun demikian melihat realita di lapangan sering kali terjadi beberapa kemungkinan yang menjadikan seseorang mungkin atau tidak mungkin melakukan shalat fardlu.
Beberapa kemungkinan itu di antaranya adalah: Pertama, bila yang ditumpangi adalah kendaraan pribadi maka kiranya tidak ada alasan untuk tidak bisa turun dan melakukan shalat fardlu di atas tanah sebagaimana mestinya. Orang yang mengendarai kendaraan pribadi tentunya ia bisa sekehendaknya menghentikan kendaraannya.
Kedua, bila yang ditumpangi adalah pesawat, kereta api, dan kapal laut maka masih ada kemungkinan untuk bisa melakukan shalat fardlu sebagaimana mestinya di atas kendaraan-kendaraan itu. Masalahnya kemudian tinggallah soal kemauan orang yang bersangkutan untuk shalat atau tidak.
Ketiga, bila yang ditumpangi adalah kendaraan umum seperti bus antar kota maka kecil kemungkinan—untuk tidak mengatakan tidak bisa sama sekali—untuk melakukan shalat fardlu di atasnya. Kiranya sulit shalat di atas bus sambil berdiri, ruku’, dan sujud secara sempurna. Pun sulit pula melakukannya dengan menghadap ke arah kiblat.
Harapan yang tersisa adalah bila bus berhenti di tempat peristirahatan—semisal rumah makan—tepat pada waktunya shalat.
Bila terjadi kemungkinan yang ketiga, di mana penumpang benar-benar tidak bisa turun untuk shalat atau melakukan shalat secara sempurna di atas kendaraannya, maka satu-satunya yang mesti ia lakukan adalah shalât li hurmatil waqti, yakni melakukan shalat sekadar untuk menghormati datangnya waktu shalat, karena pada dasarnya seseorang tidak diperbolehkan meninggalkan shalat ketika ia menemui datangnya waktu shalat.
Shalat li hurmatil waqti ini dilakukan bagi orang yang tidak bisa memenuhi ketentuan-ketentuan shalat secara sempurna, seperti tidak menemukan air dan debu untuk bersuci, dan tidak bisa menghadap kiblat, ruku’ dan sujud secara sempurna.
Orang yang melakukan shalat li hurmatil waqti wajib mengulangi shalatnya ketika telah memungkinkan untuk melakukannya secara sempurna. Sumber Wallahu a’lam.