Hal-hal yang mewajibkan Mandi Besar
Hal-hal yang mewajibkan Mandi Besar, Dalam agam Islam ada beberap perkara yang menjadi penyebab seseorang harus mandi besar.
Mandi besar ini berguna untuk menghilangkan hadas besar, sesuatu yang harus dihilangkan agar bisa melaksanakan ibadah-ibadah tertentu.
Pada kesempatan kali ini kita akan membahas tentang bab fikih yang berhubungan dengan Hal-hal yang mewajibkan Mandi Besar.
Hal-hal yang mewajibkan Mandi Besar
Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam kitab Matan Taqrib menyebutkan bahwa Perkara yang mewajibkan mandi ada enam, tiga di antaranya berlaku pada laki-laki dan perempuan, tiga lainnya khusus untuk perempuan.
Untuk laki-laki dan perempuan:
1. Bertemunya dua khitan.
2. Keluarnya mani.
3. Kematian.
Khusus untuk perempuan:
1. Haidh.
2. Nifas.
3. Melahirkan.
Pada bagian berikut ini kita akan membahas tentang rincian mandi besar dan hal-hal yang mewajibkan mandi besar.
Apa itu Mandi Besar? Pengertian Mandi Besar
Mandi dalam bahasa Arab disebut dengan al-ghuslu. Al-ghuslu secara bahasa berarti mengalirnya pada sesuatu secara mutlak.
Al-ghuslu secara istilah syari adalah:
سَيْلاَنُ الماَءِ عَلَى جَمِيْعِ البَدَنِ بِنِيَّةٍ مَخْصُوْصَةٍ
“mengalirnya air pada seluruh badan dengan niat tertentu.” (Fath Al-Qarib, hlm. 6)
Rincan Tentang Hal-hal yang mewajibkan Mandi Besar
Berikut ini adalah beragam Sebab adanya mandi wajib
1. Bertemunya dua khitan
Yaitu memasukkan kepala dzakar (kemaluan laki-laki) walaupun hanya sebagian ke dalam farji (kemaluan perempuan), dengan memasukkan seperti ini menyebabkan mandi wajib, keluar mani ataukah tidak.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا اَلْأَرْبَعِ, ثُمَّ جَهَدَهَا, فَقَدْ وَجَبَ اَلْغُسْلُ
“Jika seseorang telah benar-benar melakukan hubungan intim dengan istrinya lantas bertemu dua kemaluan, ia diwajibkan untuk mandi.” (Muttafaqun ‘alaih, HR. Bukhari, no. 291 dan Muslim, no. 348)
Dalam riwayat Muslim terdapat tambahan,
وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ
“Walaupun tidak keluar mani.” [HR. Muslim, no. 348]
2. Keluarnya mani
Maksudnya keluarnya mani (sperma) dari seseorang tanpa penetrasi, walaupun ia bukan pelakunya dan walaupun yang keluar hanyalah sedikit.
Ciri-ciri mani
cairan putih
tebal (kental)
tadaffuq ketika keluar, yaitu keluar duf’atan bakda duf’atin, yaitu satu curahan dan satu curahan lagi
keluar dengan syahwat (yang kuat)
keluar dengan nikmat
membuat lemas ketika keluar
baunya khas, ketika basah seperti bau adonan tepung, ketika kering seperti bau putih telur ayam
Mani yang menyebabkan wajib mandi
keluar dengan syahwat dan membuat lemas
baunya menyerupai bau adonan tepung
keluar dengan tadaffuq, curahan demi curahan
Dalil dalam bahasan ini adalah hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ
“Sesungguhnya (mandi) dengan air disebabkan karena keluarnya air (mani).” (HR. Muslim no. 343)
3. Kematian
Dalil dalam hal ini adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada Ummu ‘Athiyah dan kepada para wanita yang melayat untuk memandikan putri beliau,
اغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ مَنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ
“Mandikanlah dengan mengguyurkan air yang dicampur dengan daun bidara tiga kali, lima kali atau lebih dari itu jika kalian anggap perlu dan jadikanlah yang terakhirnya dengan kafur barus (wewangian).” (HR. Bukhari, no. 1253 dan Muslim, no. 939).
Ada tiga manusia berkaitan dengan hal ini:
Orang yang mati syahid, ia haram dimandikan dan dishalatkan, tetapi wajib dikafani dan dikuburkan.
Orang kafir (kafir mu’ahad, muamman, dzimmi), ia boleh dimandikan, haram dishalatkan, wajib dikafani dan dikuburkan.
Janin yang keguguruan dan tidak ada bentuk dan kehidupan, tidak wajib dimandikan, ditutup dengan kain, tidak wajib dishalatkan, dan disunnahkan untuk dikuburkan.
4. Haidh
Haidh adalah darah yang keluar dari wanita yang telah mencapai sembilan tahun.
Dalil bahwa wanita haidh diperintahkan untuk mandi adalah firman Allah Ta’ala,
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ أَبِي حُبَيْشٍ ، سَأَلَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ : إِنِّي أُسْتَحَاضُ فَلاَ أَطْهُرُ ، أَفَأَدَعُ الصَّلاَةَ ؟ فَقَالَ : لاَ ، إِنَّ ذَلِكَ عِرْقٌ ، وَلَكِنْ دَعِي الصَّلاَةَ قَدْرَ الأَيَّامِ الَّتِي كُنْتِ تَحِيْضِيْنَ فِيْهَا ، ثُمَّ اِغْتَسِلِي وَصَلِّي.
“Fathimah binti Abi Hubaisy pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, ‘Aku pernah istihadhah dan belum suci. Apakah aku mesti meninggalkan shalat?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Tidak, itu adalah darah penyakit. Namun, tinggalkanlah shalat sebanyak hari yang biasanya engkau haidh sebelum itu, kemudian mandilah dan lakukanlah shalat.’” (HR. Bukhari, no. 325)
5. Nifas
Bagi perempuan yang telah usai Nifas dan haidh diperintahkan untuk mandi besar. Nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan (wiladah).
6. Melahirkan
Melahirkan yang diiringi denagn balal (basah) diperintahkan untuk mandi besar, begitu pula ketika tanpa basah, diperintahkan untuk mandi besar menurut pendapat ashah. Melahirkan dihukumi sama dengan nifas, karenanya melahirkan disebutkan juga dengan nifas.
Itulah informasi tentang Hal-hal yang mewajibkan Mandi Besar dalam Islam. Semoga bermanfaat. Wallahua’lam.